Prabowo Sebut Utang RI Rp 9.000 T Sudah Bahaya, Begini Faktanya
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut utang Indonesia yang hampir mencapai Rp 9.000 triliun sudah sangat membahayakan. Jumlah utang tersebut, terdiri dari utang pemerintah, utang lembaga keuangan milik pemerintah, dan utang-utang Badan Umum Milik Negara (BUMN).
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti mengungkapkan sejumlah fakta mengenai kritikan utang yang dilontarkan Prabowo. Data Statistik Utang Sektor Publik (SUSPI) Desember 2017, utang Indonesia terdiri dari tiga kelompok, yakni:
⁃ Utang pemerintah pusat : Rp 4.060 triliun
⁃ Utang BUMN non-lembaga keuangan : Rp 630 triliun
⁃ Utang BUMN lembaga keuangan (termasuk Bank BUMN) = Rp 3.850 triliun.
"Jadi jumlah total utang Indonesia adalah sebesar Rp 8.540 triliun. Sangat jauh dari Rp 9.000 triliun yang disampaikan Pak Prabowo. Pak Prabowo menggunakan kurs Rp 14.000 dolar AS, sementara posisi 2017 data BI (SUSPI) menggunakan kurs Rp 13.492 per dolar AS," jelas Frans begitu panggilan akrabnya di Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Sementara itu, dia menambahkan, untuk utang BUMN lembaga keuangan (Bank BUMN), seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN sebesar Rp 3.850 triliun. Sekitar 80 persen atau hampir Rp 3.000 triliun adalah Dana Pihak Ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat, perusahaan yang menempatkan dana di perbankan yang selain untuk tujuan menabung, dana tersebut justru menjadi instrumen pendanaan invetasi produktif perekonomian.
Frans menjelaskan, utang BUMN no- lembaga keuangan merupakan utang BUMN dalam melaksanakan kegiatan usaha BUMN, termasuk membangun infrastruktur seperti pembangkit dan transmisi listrik, jalan tol, pelabuhan laut dan udara, serta kegiatan produktif BUMN lainnya.
Utang BUMN merupakan kekayaan dan kewajiban yang dipisahkan sesuai UU Keuangan Negara dan tidak otomatis menjadi tanggungan pemerintah.
"Utang BUMN menjadi kewajiban BUMN untuk melunasinya, dan secara korporasi dijamin oleh aset BUMN yang bersangkutan. Untuk utang BUMN yang mendapat jaminan pemerintah, dikelola secara hati-hati dan dikendalikan secara disiplin serta dilaporkan secara terbuka dan transparan," tegas Frans.
Menurut Frans, dalam menghitung tingkat risiko utang, maka ukurannya adalah dibandingkan dengan kemampuan membayarnya. Untuk utang pemerintah ukurannya adalah kapasitas ekonomi (PDB) dan rasio kewajiban cicilan dan bunga terhadap penerimaan negara. Sedangkan utang korporat diukur terhadap aset dan arus penerimaan.
"Sebagai tokoh politik yang memiliki perusahaan, Pak Prabowo tentu paham adalah hal normal bagi sebuah perusahaan untuk berutang, bahkan semua perusahaan untuk melakukan operasi usaha dan invetasi hampir selalu menggunakan pembiayaan utang," dia berujar.
"Maka itu dikenal kredit modal kerja dan kredit Invetasi. Utang sepanjang digunakan untuk melakukan hal produktif dan menghasilkan penerimaan kembali, maka kewajiban tersebut akan dapat dibayarkan kembali," Frans menambahkan.
Dia menegaskan, utang bukan tujuan, dan utang juga bukan momok yang nampaknya sering digunakan sebagai komoditas politik untuk menakuti rakyat. Utang negara termasuk yang berbentuk syariah adalah instrumen pembiayaan yang dapat digunakan oleh negara untuk mencapai tujuan, selama dikelola secara hati-hati, akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, lanjut Frans, kebijakan utang dan pengelolaan keuangan negara diawasi oleh berbagai lembaga mulai dari DPR, BPK, kreditor hingga lembaga pemeringkat independen di tingkat global seperti Moody's, Fitch S&P, JCRA (Japan Credit Rating Agency) serta R&I (Rating & Investment).
"Utang negara juga selalu dilakukan setelah melalui pembahasan dan persetujuan DPR melalui pengesahan UU APBN setiap tahunnya. Pengelolaannya selalu diawasi oleh DPR dan tetap dalam batas-batas yang telah diatur dalam UU Keuangan Negara," paparnya.
Terkait dengan pernyataan Prabowo yang mengutip lembaga pemeringkat Moody's yang disebutkan situasi Indonesia bahaya, Frans menanggapi bahwa lembaga pemeringkat Moody's justru telah menaikkan rating utang Indonesia dari Baa3/outlook positif menjadi Baa2/outlook stabil pada April 2018. Rating tersebut adalah rating tertinggi yang pernah diberikan Moody's kepada Indonesia selama ini.
"Pemerintah senantiasa mengelola APBN dengan transparan, profesional, berhati-hati dan bertanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai pertanggungjawaban publik yang telah diatur oleh UU, dan untuk menjaga perekonomian Indonesia tumbuh dan berkembang secara sehat, adil, merata, dan berkelanjutan," tutup Frans.